Kamis, 18 Oktober 2012






Panggil Saja Guru SLB

Meka Firanita (17), mendadak diam. Meka, demikian sapaan akrabnya selalu terlihat riang bersama teman-temannya. Bila ada guru kesukaannya lewat, Meka akan segera menyapanya. Sapaaanya selalu lebih dari sekali, tak jarang terkadang juga berteriak. Bila sapaannya tidak dibalas, Meka akan marah. Namun kali ini Meka tiba-tiba tidak bicara apapun, bahkan ketika guru kesukaannya lewat dan menyapa Meka beberapa kali, meka tetap  diam bahkan acuh di tempat duduknya.

            “Jika Meka diam seperti itu, pasti kalau tidak sedang buang air kecil bahkan kemungkinan Meka sedang buang hajat di tempat, kemungkinan terakhir yang akan menyusahkan saya nanti, namun saya harus ikhlas nantinya ketika membersihkannya”. Ucap Bu Erna, Wali kelas Meka dangan nada datar.

          Pada mulanya menjadi guru bagi anak-anak cacat di SLB tentu bukan pilihan utama  Bu Erna dan bagi saya pribadi. Jika diberikan pilihan, tentu saya akan memilih mengajar di sekolah-sekolah umum dimana murid-muridnya memiliki mental dan fisik secara normal. Sehingga mengajar di sekolah umum tidak perlu kesabaran ekstra agar bisa mendidik murid-muridnya dengan baik dan hasilnya juga tidak mengecewakan.
            Hal seperti itu tentu bukan sebuah alasan saya untuk menolak mengajar di SLB. Mengajar di SLB tentu sebuah pengalaman menarik dan menyenangkan. Setiap hari saya selalu melihat anak-anak yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Ada yang cacat fisik seperti tidak bisa bejalan, ada yang cacat pendengaran, ada yang tidak bisa melihat dan ada juga yang cacat mental. Melihat anak-anak seperti itu, membuat saya selalu bersyukur karena diberikan kesehatan fisik dan mental.

            Tentu jangan disamakan cara mengajar anak-anak cacat di SLB dengan mengajar anak-anak di sekolah umum. Jika mengajar di sekolah umum, seorang guru tinggal masuk kelas, guru menerangkan, murid akan menyimak dan jika ada murid yang ramai guru tinggal mengingatkan, maka murid itu akan diam. Selesai.

Mengajar di SLB harus memiliki kesabaran ekstra tersendiri. Terkadang ada juga murid saya yang tiba-tiba emosi serta membanting setiap barang di sekitarnya. Ada juga murid-murid saya yang tiba-tiba pipis di kelas atau bahkan buang air besar di kelas. Nah, tugas gurunya membantu dan membersihkan apapun termasuk ketika ada siswanya buang hajat di dalam kelas.
             SLB tempat saya mengajar dibagi ke dalam beberapa kelas sesuai dengan ketunaan dan tingkatan kelas. Seperti Tunanetra (A), Tunarungu wicara(B), Tunagrahita (C), Tunadaksa (D) dan Tunalaras (E).. Tunannetra adalah kelas dimana anak-anaknya memiliki tingkat penglihatan yang rendah, Tunarungu wicara adalah anak-anak yang memiliki kelemahan dalam pendengaran dan bicara. Tunagrahita adalah anak-anak yang memiliki kelemahan dalam tingkat berpikirnya. Dan tunadaksa adalah anak-anak yang salah satu anggota tubuhnya tidak berfungsi secara maksimal.

             Tentu saja mengajar di kelas-kelas tersebut memiliki tingkat kesusahan masing-masing. Namun yang membutuhkan energi ekstra adalah ketika mengajar anak-anak C. Erna Fitrianni, salah satu teman saya mengajar, harus selalu membersihkan kelasnya ketika ada muridnya yang tiba-tiba buang hajat di dalam kelas. Bu Erna, sapaan akrabnya, harus betah menahan bau dan ikut membersikan bekas – bekas kotoran yang menempel di  baju muridnya. Berbeda lagi dengan teman saya yang lain, Ida yuliati. Bu Ida, demikian saya memanggil, pernah pingsan beberapa saat karena dipukul muridnya yang tiba-tiba emosi.

              Namun kejadian-kejadian seperti itu malah membikin betah mereka mengajar di SLB. Karena selalu saja ada hal menyenangkan yang dilakukan anak-anak SLB. Anak-anak itu akan berontak jika gurunya tiba-tiba diganti. Hal sekecil  itulah yang membuat kita selalu  seperti diperhatikan. Tak jarang terkadang ada juga guru yang  diberikan jajan oleh muridnya keetika istirahat.

            Tujuan pembelajaran di SLB tentu sangat berbeda dengan sekolah umum. Jika sekolah umum selalu saja mengharapkan para muridnya lululs ujian  nasional dengan hasil memuaskan, maka di SLB tentu bukan seperti itu. Dengan kondisi anak SLB yang serba kekurangan, sebagai guru SLB adalah bertugas mempersiapkan siswa-siswanya siap ketika berhadapan dengan lingkungan masyarakat. Tidak lagi butuh pendampingan orangtuanya.

             Jika para murid di SLB sudah bisa melakukan aktifitas sehari-hari , seperti berpakaian sendiri, mandi sendiri, pergi ke toilet sendiri tanpa bantuan orang lain, maka kita akan mengalami perasaan senang tersendiri. Karena perubahan sekecil apapun bagi murid dianggap perubahan luar biasa bagi orangtuanya dan tentu kebanggaan tersendiri bagi seorang guru SLB.
Priyo Wiharto, Pengajar di SLB Sunan Muria Kudus.

Senin, 23 Januari 2012

Pasustri Jamasri, dan Muntamah yang menggagas SMP dan SMA LB


*jawa Pos Radar Kudus, 17 Januari 2012
Setiap Manusia Mempunyai Hak Pendidikan yang sama
Peduli pada sesama tanpa memandang kelebihan dan kekurangan belum tentu dimiliki setiap orang. Apalagi peduli pada masyarakat yang memiliki kekurangan fisik (disable). Tapi tidak bagi Jamasri dan Muntamah yang dengan kegigihannya merintis sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas (SMP-SMA LB). Bagaimana kisahnya?
Memiliki kesadaran social yang tinggi, belum tentu dimiliki setiap orang. Tanpa keikhlasan yang dijunjung tinggi, tidak mungkin kesadaran itu terbangun dengan sendirinya. Seperti kesadaran social pasangan Jamasri, 56, dan Muntamah, 56, Warga RT/5/RW/1 Desa Cendono, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, yang mengelola lembaga pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus kali pertama di Kudus.
Manusia mempunyai hak mendapatkan pendidikan, mengingat di tengah masyarakat masih banyak ada anak-anak yang mengalami kelainan/berkebutuhan khusus namun belum mendapat pendidikan yang layak. Padahal, mereka perlu mendapat perhatian selayaknya manusia normal lainnya.
“Awalnya,kami gelisah melihat banyak anak-anak difabel yang tidak sekolah, dan setelah dewasa mereka akan bagaimana, bila tidak ada pendidikan yang memperhatikan mereka. Lantaran itulah, kami berdua berinisiatif mendirikan pendidikan luar biasa, dan mampu menampung mereka yang tidak mampu,” ungkap Jamasri, pemilik yayasan dan Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) Sunan Muria).
Akhirnya , menurut Jamasri, sekitar tahun 2000, terbentuklah sebuah yayasan kecil  sekolah luar biasa. Dari sini diharapkan, institusi pendidikan yang dikelolanya mampu menampung dan mencukupi pendidikan para penyandang difabel. Dan pemerintah pun menanggapi positif inisiatif ini.
“Kami mendirikan lembaga pendidikan ini, berdasarkan kegelisahan trentang hak pendidikan yang dimilki setiap manusia. Sehingga kami menginginkan ada semacam pendidikan khusus untuk mereka. Ternyata itu didukung Pemerintay Kabupaten Kudus,” ujar Jamasri.
Yayasan yang didirikan itu, akhirnya mampu memfasilitasi masyarakat yang memiliki keterbatasan fisik untuk tetap dapat mengenyam pendidikan layaknya orang-orang normal.
“Awalnya, yang kami bentuk hanya Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) saja. Namun setelah menghasilkan lulusan perdana, kami merasakan ada kekurangan. Harus ada jenjang pendidikan selanjutnya untuk mereka, ‘’ kata Jamasri.
Lantaran untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya masih belum ada, maka pada akhir 2004, dia menambahkan tiga lokal baru untuk melanjutkan SMPLB. Jenjang  baru ini tak lain Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB).
Jamasri mengakui, gagasan mendirikan lembaga pendidikan  bukan sesuatu yang mudah. Baik dalam bidang birokrasi pendidikan, maupun tanggapan dari masyarakat. Namun hal itu, dijadikannya motivasi besar untuk mewujudkan cita-citanya mengembangkan pendidikan luar biasa di Kudus.
“Dulu masyarakat sempatmenganggap mustahil mampu mendirikan lembaga pendidikan. Namun lantaran administrasi dan semua persyaratan, kami siapkan sejak awal, maka terbentuklah yayasan lembaga pendidikan luar biasa ini, “ terangnya.
Sementara itu, Muntamah istri Jamasri menambahkan, sejak awal memang mereka berkeinginan yang sama untuk mendirikan sekolah luar biasa bagi para difabel. Dengan berbekal keyakinan, dan keikhlasan, dalam mengelola lembaga pendidikan tersebut, akhirnya dalam perjalanannya terasa lebih mudah dijalani bersama.
“Kalau tidak ada faktor saling mendukung tidak mungkin terwujud. Apapun niat baik kita, saya menganggap ini sesuatu yang berharga sekali. Bisa bersama dengan suami mengelola pendidikan luar biasa bersama-sama,”imbuhnya.(cr4/oko)

Srikandi Desa Untuk Sekolah Luar Biasa


SRIKANDI DESA UNTUK SEKOLAH LUAR BIASA

MENJADI guru bagi anak-anak cacat di sekolah luar biasa (SLB), tentu bukan pekerjaan ringan. Dibutuhkan kesabaran ekstra agar bisa mendidik murid-murid dengan baik dan hasilnya juga tidak mengecewakan. Tetapi, bagi para guru Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMP LB) Sunan Muria, Cendono, Kudus, yang kebanyakan perempuan, mengajar anak-anak kurang beruntung seperti anak-anak cacat, mempunyai kesan tersendiri.

Dra Siti Nurjanah, misalnya. Sejak awal, istri dari Drs Ali Ahmadi ini memang sudah menetapkan hati untuk berprofesi dan mengabdikan diri mengajar anak-anak cacat. Untuk menunjang cita-citanya tersebut, ia kemudian kuliah di jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) IKIP Negeri Yogyakarta (kini Universitas Negeri Yogyakarta).

’’Saya senang mengajar di SLB. Ini memang sudah pilihan profesi. Saya ingin mendidik anak-anak cacat yang kurang beruntung,’’ kata guru yang telah mengajar di SLP LB sejak 2003 itu.

Guru lain, Puji Astutik SPdI dan Siti Fatimah juga mengaku bersyukur diberi kesempatan menjadi tenaga pengajar di sekolah tersebut. ’’Senang sekali bisa mengajar di sini, karena kita bisa memberi sesuatu kepada anak-anak cacat. Mengajar di sini juga membuat kita bisa lebih bersyukur kepada Allah SWT, karena kita diberi kesempurnaan secara fisik dan akal,’’ ujar keduanya. 

Karena panggilan hati pula, Hj Marjatun, pensiunan pegawai negeri di Departemen Agama (Depag) Kudus, ikut terjun membantu mengajar anak-anak cacat di SMP LB Sunan Muria.

Sementara Asti Fitriyani, guru yang terbilang paling muda di SMP LB ini, juga merasa bangga bisa ikut berbagi dengan anak-anak cacat. ’’Meski saya belum mendapat SK, saya senang karena sudah diberi kesempatan mengamalkan ilmu yang saya punya,’’ katanya.
Sabar dan Telaten
Mengajar anak-anak cacat tidak sama dengan mengajar anak-anak di sekolah umum. Sebab, di sekolah umum muridnya anak-anak yang normal secara fisik, mental maupun akal.

’’Kesabaran kita akan benar-benar diuji menghadapi anak-anak cacat dan kurang mental di SLB. Sebab, ada anak yang tidak mudengan (sulit memahami sesuatu), suka pilih-pilih guru waktu belajar, ada pula yang masuknya sesuka hati,’’ kata Siti Nurjanah.

Karena itu, kesabaran menjadi persoalan yang harus ditanamkan dalam sanubari para guru. ’’Kami harus sabar, tabah, dan tawakkal,’’ tambah Hj Marjatun.

Selain kesabaran, ketelatenan para guru dalam membimbing anak didik adalah hal yang tidak bisa diabaikan. Kalau ada anak yang mempunyai bakat, para guru harus mendampingi hingga ada hasilnya,’’ tegas Siti Nurjanah.

Ya, melihat kegigihan dan perjuangan para ’’Srikandi Desa’’ di SMP LB ini, tak berlebihan kiranya sebuah apresiasi diberikan kepada mereka. Apalagi tak banyak orang yang berani menentukan pilihan menjadi guru bagi anak-anak cacat.

Kesabaran, ketabahan, dan ketelatenan mereka adalah pelajaran berharga bagi kita. Pelajaran untuk memahami, bahwa anak-anak yang terlahir cacat pun tetap punya hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak bagi masa depannya. (37)
(Suara merdeka, 9 April 2008)
– Rosidi, aktif di  Lembaga Studi Sosial Budaya (LS2B) Sumur Tolak Kudus 

Minggu, 22 Januari 2012

Sekolah Luar Biasa

Sekolah Luar Biasa (SLB) didirikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus (difabel). SLB ini ada karena sebuah keharusan dan bentuk tanggung jawab kami untuk turut mencerdakskan anak bangsa. Mengetahui bahwa pendidikan itu adalah hak dasar manusia yang harus terpenuhi, maka dari itu didirikanlah SLB "SUNAN MURIA'' Dawe Kudus.