Senin, 23 Januari 2012

Srikandi Desa Untuk Sekolah Luar Biasa


SRIKANDI DESA UNTUK SEKOLAH LUAR BIASA

MENJADI guru bagi anak-anak cacat di sekolah luar biasa (SLB), tentu bukan pekerjaan ringan. Dibutuhkan kesabaran ekstra agar bisa mendidik murid-murid dengan baik dan hasilnya juga tidak mengecewakan. Tetapi, bagi para guru Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMP LB) Sunan Muria, Cendono, Kudus, yang kebanyakan perempuan, mengajar anak-anak kurang beruntung seperti anak-anak cacat, mempunyai kesan tersendiri.

Dra Siti Nurjanah, misalnya. Sejak awal, istri dari Drs Ali Ahmadi ini memang sudah menetapkan hati untuk berprofesi dan mengabdikan diri mengajar anak-anak cacat. Untuk menunjang cita-citanya tersebut, ia kemudian kuliah di jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) IKIP Negeri Yogyakarta (kini Universitas Negeri Yogyakarta).

’’Saya senang mengajar di SLB. Ini memang sudah pilihan profesi. Saya ingin mendidik anak-anak cacat yang kurang beruntung,’’ kata guru yang telah mengajar di SLP LB sejak 2003 itu.

Guru lain, Puji Astutik SPdI dan Siti Fatimah juga mengaku bersyukur diberi kesempatan menjadi tenaga pengajar di sekolah tersebut. ’’Senang sekali bisa mengajar di sini, karena kita bisa memberi sesuatu kepada anak-anak cacat. Mengajar di sini juga membuat kita bisa lebih bersyukur kepada Allah SWT, karena kita diberi kesempurnaan secara fisik dan akal,’’ ujar keduanya. 

Karena panggilan hati pula, Hj Marjatun, pensiunan pegawai negeri di Departemen Agama (Depag) Kudus, ikut terjun membantu mengajar anak-anak cacat di SMP LB Sunan Muria.

Sementara Asti Fitriyani, guru yang terbilang paling muda di SMP LB ini, juga merasa bangga bisa ikut berbagi dengan anak-anak cacat. ’’Meski saya belum mendapat SK, saya senang karena sudah diberi kesempatan mengamalkan ilmu yang saya punya,’’ katanya.
Sabar dan Telaten
Mengajar anak-anak cacat tidak sama dengan mengajar anak-anak di sekolah umum. Sebab, di sekolah umum muridnya anak-anak yang normal secara fisik, mental maupun akal.

’’Kesabaran kita akan benar-benar diuji menghadapi anak-anak cacat dan kurang mental di SLB. Sebab, ada anak yang tidak mudengan (sulit memahami sesuatu), suka pilih-pilih guru waktu belajar, ada pula yang masuknya sesuka hati,’’ kata Siti Nurjanah.

Karena itu, kesabaran menjadi persoalan yang harus ditanamkan dalam sanubari para guru. ’’Kami harus sabar, tabah, dan tawakkal,’’ tambah Hj Marjatun.

Selain kesabaran, ketelatenan para guru dalam membimbing anak didik adalah hal yang tidak bisa diabaikan. Kalau ada anak yang mempunyai bakat, para guru harus mendampingi hingga ada hasilnya,’’ tegas Siti Nurjanah.

Ya, melihat kegigihan dan perjuangan para ’’Srikandi Desa’’ di SMP LB ini, tak berlebihan kiranya sebuah apresiasi diberikan kepada mereka. Apalagi tak banyak orang yang berani menentukan pilihan menjadi guru bagi anak-anak cacat.

Kesabaran, ketabahan, dan ketelatenan mereka adalah pelajaran berharga bagi kita. Pelajaran untuk memahami, bahwa anak-anak yang terlahir cacat pun tetap punya hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak bagi masa depannya. (37)
(Suara merdeka, 9 April 2008)
– Rosidi, aktif di  Lembaga Studi Sosial Budaya (LS2B) Sumur Tolak Kudus 

1 komentar: