SMP/SMA LB Sunan Muria
Sekolah ini untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Simaklah cerita mereka. Terima kasih
Selasa, 04 Juni 2013
JANGAN Abaikan Guru
SEBENARNYA tidak ada maksud buruk dari perubahan. Namun, ada hal yang perlu dipertimbangkan agar maksud baik tersebut dapat tercapai yaitu masalah guru. tujuan dirombaknya KTSP menjadi kurikulum 2013 sebenarnya cukup baik. yaitu untuk membangkitkan kemampuan nalaf dan kreativitas anak didik secara merata. Pasalnya, selama ini kurikulum yang mampu memacu hal tersebut hanya dapat diperoleh id sekolah-sekolah tertentu saja.
"Guru kita ini sudah lama tidak dibiasakan untuk mengembangkan sesuatu. hanya terbiasa menerima dan menjabarkan dan takut salah jika tidak sesuai dengan arahan," ujar Dekan fakultas Ilmu pendidikan Universitas negeri jakarta ( UNJ ) karnadi saat diskusi tentang kurikulum 2013 Jakarta. Ia juga menjelaskan bahwa guru-guru ini bukannya tidak mampu menjalankan kurikulum 2013. Hanya saja karena terbiasa diarahkan, guru jadi terbatas untuk berk
Meka Firanita (17), mendadak diam. Meka, demikian sapaan
akrabnya selalu terlihat riang bersama teman-temannya. Bila ada guru
kesukaannya lewat, Meka akan segera menyapanya. Sapaaanya selalu lebih
dari sekali, tak jarang terkadang juga berteriak. Bila sapaannya tidak
dibalas, Meka akan marah. Namun kali ini Meka tiba-tiba tidak bicara
apapun, bahkan ketika guru kesukaannya lewat dan menyapa Meka beberapa
kali, meka tetap diam bahkan acuh di tempat duduknya.
“Jika Meka diam seperti itu, pasti kalau tidak sedang buang air kecil
bahkan kemungkinan Meka sedang buang hajat di tempat, kemungkinan
terakhir yang akan menyusahkan saya nanti, namun saya harus ikhlas
nantinya ketika membersihkannya”. Ucap Bu Erna, Wali kelas Meka dangan
nada datar.
Pada mulanya menjadi
guru bagi anak-anak cacat di SLB tentu bukan pilihan utama Bu Erna dan
bagi saya pribadi. Jika diberikan pilihan, tentu saya akan memilih
mengajar di sekolah-sekolah umum dimana murid-muridnya memiliki mental
dan fisik secara normal. Sehingga mengajar di sekolah umum tidak perlu
kesabaran ekstra agar bisa mendidik murid-muridnya dengan baik dan
hasilnya juga tidak mengecewakan.
Hal seperti itu
tentu bukan sebuah alasan saya untuk menolak mengajar di SLB. Mengajar
di SLB tentu sebuah pengalaman menarik dan menyenangkan. Setiap hari
saya selalu melihat anak-anak yang berbeda dengan anak-anak pada
umumnya. Ada yang cacat fisik seperti tidak bisa bejalan, ada yang cacat
pendengaran, ada yang tidak bisa melihat dan ada juga yang cacat
mental. Melihat anak-anak seperti itu, membuat saya selalu bersyukur
karena diberikan kesehatan fisik dan mental.
Tentu jangan disamakan cara mengajar anak-anak cacat di SLB dengan
mengajar anak-anak di sekolah umum. Jika mengajar di sekolah umum,
seorang guru tinggal masuk kelas, guru menerangkan, murid akan menyimak
dan jika ada murid yang ramai guru tinggal mengingatkan, maka murid itu
akan diam. Selesai.
Mengajar di SLB harus memiliki
kesabaran ekstra tersendiri. Terkadang ada juga murid saya yang
tiba-tiba emosi serta membanting setiap barang di sekitarnya. Ada juga
murid-murid saya yang tiba-tiba pipis di kelas atau bahkan buang air
besar di kelas. Nah, tugas gurunya membantu dan membersihkan apapun
termasuk ketika ada siswanya buang hajat di dalam kelas.
SLB tempat saya mengajar dibagi ke dalam beberapa kelas sesuai dengan
ketunaan dan tingkatan kelas. Seperti Tunanetra (A), Tunarungu
wicara(B), Tunagrahita (C), Tunadaksa (D) dan Tunalaras (E).. Tunannetra
adalah kelas dimana anak-anaknya memiliki tingkat penglihatan yang
rendah, Tunarungu wicara adalah anak-anak yang memiliki kelemahan dalam
pendengaran dan bicara. Tunagrahita adalah anak-anak yang memiliki
kelemahan dalam tingkat berpikirnya. Dan tunadaksa adalah anak-anak yang
salah satu anggota tubuhnya tidak berfungsi secara maksimal.
Tentu saja mengajar di kelas-kelas tersebut memiliki tingkat kesusahan
masing-masing. Namun yang membutuhkan energi ekstra adalah ketika
mengajar anak-anak C. Erna Fitrianni, salah satu teman saya mengajar,
harus selalu membersihkan kelasnya ketika ada muridnya yang tiba-tiba
buang hajat di dalam kelas. Bu Erna, sapaan akrabnya, harus betah
menahan bau dan ikut membersikan bekas – bekas kotoran yang menempel di
baju muridnya. Berbeda lagi dengan teman saya yang lain, Ida yuliati.
Bu Ida, demikian saya memanggil, pernah pingsan beberapa saat karena
dipukul muridnya yang tiba-tiba emosi.
Namun
kejadian-kejadian seperti itu malah membikin betah mereka mengajar di
SLB. Karena selalu saja ada hal menyenangkan yang dilakukan anak-anak
SLB. Anak-anak itu akan berontak jika gurunya tiba-tiba diganti. Hal
sekecil itulah yang membuat kita selalu seperti diperhatikan. Tak
jarang terkadang ada juga guru yang diberikan jajan oleh muridnya
keetika istirahat.
Tujuan pembelajaran di SLB
tentu sangat berbeda dengan sekolah umum. Jika sekolah umum selalu saja
mengharapkan para muridnya lululs ujian nasional dengan hasil
memuaskan, maka di SLB tentu bukan seperti itu. Dengan kondisi anak SLB
yang serba kekurangan, sebagai guru SLB adalah bertugas mempersiapkan
siswa-siswanya siap ketika berhadapan dengan lingkungan masyarakat.
Tidak lagi butuh pendampingan orangtuanya.
Jika para murid di SLB sudah bisa melakukan aktifitas sehari-hari ,
seperti berpakaian sendiri, mandi sendiri, pergi ke toilet sendiri tanpa
bantuan orang lain, maka kita akan mengalami perasaan senang
tersendiri. Karena perubahan sekecil apapun bagi murid dianggap
perubahan luar biasa bagi orangtuanya dan tentu kebanggaan tersendiri
bagi seorang guru SLB. Priyo Wiharto, Pengajar di SLB Sunan Muria Kudus.
Peduli pada sesama tanpa memandang kelebihan dan kekurangan
belum tentu dimiliki setiap orang. Apalagi peduli pada masyarakat yang memiliki
kekurangan fisik (disable). Tapi tidak bagi Jamasri dan Muntamah yang dengan
kegigihannya merintis sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas
(SMP-SMA LB). Bagaimana kisahnya?
Memiliki kesadaran social yang tinggi, belum tentu dimiliki
setiap orang. Tanpa keikhlasan yang dijunjung tinggi, tidak mungkin kesadaran
itu terbangun dengan sendirinya. Seperti kesadaran social pasangan Jamasri, 56,
dan Muntamah, 56, Warga RT/5/RW/1 Desa Cendono, Kecamatan Dawe, Kabupaten
Kudus, yang mengelola lembaga pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus kali
pertama di Kudus.
Manusia mempunyai hak mendapatkan pendidikan, mengingat di
tengah masyarakat masih banyak ada anak-anak yang mengalami
kelainan/berkebutuhan khusus namun belum mendapat pendidikan yang layak.
Padahal, mereka perlu mendapat perhatian selayaknya manusia normal lainnya.
“Awalnya,kami gelisah melihat banyak anak-anak difabel yang tidak
sekolah, dan setelah dewasa mereka akan bagaimana, bila tidak ada pendidikan
yang memperhatikan mereka. Lantaran itulah, kami berdua berinisiatif mendirikan
pendidikan luar biasa, dan mampu menampung mereka yang tidak mampu,” ungkap
Jamasri, pemilik yayasan dan Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) Sunan Muria).
Akhirnya , menurut Jamasri, sekitar tahun 2000, terbentuklah
sebuah yayasan kecilsekolah luar biasa.
Dari sini diharapkan, institusi pendidikan yang dikelolanya mampu menampung dan
mencukupi pendidikan para penyandang difabel. Dan pemerintah pun menanggapi
positif inisiatif ini.
“Kami mendirikan lembaga pendidikan ini, berdasarkan
kegelisahan trentang hak pendidikan yang dimilki setiap manusia. Sehingga kami
menginginkan ada semacam pendidikan khusus untuk mereka. Ternyata itu didukung
Pemerintay Kabupaten Kudus,” ujar Jamasri.
Yayasan yang didirikan itu, akhirnya mampu memfasilitasi
masyarakat yang memiliki keterbatasan fisik untuk tetap dapat mengenyam
pendidikan layaknya orang-orang normal.
“Awalnya, yang kami bentuk hanya Sekolah Menengah Pertama
Luar Biasa (SMPLB) saja. Namun setelah menghasilkan lulusan perdana, kami
merasakan ada kekurangan. Harus ada jenjang pendidikan selanjutnya untuk
mereka, ‘’ kata Jamasri.
Lantaran untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya masih belum
ada, maka pada akhir 2004, dia menambahkan tiga lokal baru untuk melanjutkan
SMPLB. Jenjangbaru ini tak lain Sekolah
Menengah Atas Luar Biasa (SMALB).
Jamasri mengakui, gagasan mendirikan lembaga pendidikan bukan sesuatu yang mudah. Baik dalam bidang
birokrasi pendidikan, maupun tanggapan dari masyarakat. Namun hal itu,
dijadikannya motivasi besar untuk mewujudkan cita-citanya mengembangkan
pendidikan luar biasa di Kudus.
“Dulu masyarakat sempatmenganggap mustahil mampu mendirikan
lembaga pendidikan. Namun lantaran administrasi dan semua persyaratan, kami
siapkan sejak awal, maka terbentuklah yayasan lembaga pendidikan luar biasa
ini, “ terangnya.
Sementara itu, Muntamah istri Jamasri menambahkan, sejak
awal memang mereka berkeinginan yang sama untuk mendirikan sekolah luar biasa
bagi para difabel. Dengan berbekal keyakinan, dan keikhlasan, dalam mengelola
lembaga pendidikan tersebut, akhirnya dalam perjalanannya terasa lebih mudah
dijalani bersama.
“Kalau tidak ada faktor saling mendukung tidak mungkin
terwujud. Apapun niat baik kita, saya menganggap ini sesuatu yang berharga
sekali. Bisa bersama dengan suami mengelola pendidikan luar biasa bersama-sama,”imbuhnya.(cr4/oko)
MENJADI guru bagi anak-anak cacat di sekolah luar biasa (SLB),
tentu bukan pekerjaan ringan. Dibutuhkan kesabaran ekstra agar bisa mendidik
murid-murid dengan baik dan hasilnya juga tidak mengecewakan. Tetapi, bagi para
guru Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMP LB) Sunan Muria, Cendono, Kudus,
yang kebanyakan perempuan, mengajar anak-anak kurang beruntung seperti
anak-anak cacat, mempunyai kesan tersendiri.
Dra Siti Nurjanah, misalnya. Sejak awal, istri dari Drs Ali Ahmadi ini memang
sudah menetapkan hati untuk berprofesi dan mengabdikan diri mengajar anak-anak
cacat. Untuk menunjang cita-citanya tersebut, ia kemudian kuliah di jurusan
Pendidikan Luar Biasa (PLB) IKIP Negeri Yogyakarta (kini Universitas Negeri
Yogyakarta).
’’Saya senang mengajar di SLB. Ini memang sudah pilihan profesi. Saya ingin
mendidik anak-anak cacat yang kurang beruntung,’’ kata guru yang telah mengajar
di SLP LB sejak 2003 itu.
Guru lain, Puji Astutik SPdI dan Siti Fatimah juga mengaku bersyukur diberi
kesempatan menjadi tenaga pengajar di sekolah tersebut. ’’Senang sekali bisa
mengajar di sini, karena kita bisa memberi sesuatu kepada anak-anak cacat.
Mengajar di sini juga membuat kita bisa lebih bersyukur kepada Allah SWT,
karena kita diberi kesempurnaan secara fisik dan akal,’’ ujar keduanya.
Karena panggilan hati pula, Hj Marjatun, pensiunan pegawai negeri di Departemen
Agama (Depag) Kudus, ikut terjun membantu mengajar anak-anak cacat di SMP LB
Sunan Muria.
Sementara Asti Fitriyani, guru yang terbilang paling muda di SMP LB ini, juga
merasa bangga bisa ikut berbagi dengan anak-anak cacat. ’’Meski saya belum
mendapat SK, saya senang karena sudah diberi kesempatan mengamalkan ilmu yang
saya punya,’’ katanya.
Sabar dan Telaten
Mengajar
anak-anak cacat tidak sama dengan mengajar anak-anak di sekolah umum. Sebab, di
sekolah umum muridnya anak-anak yang normal secara fisik, mental maupun akal.
’’Kesabaran kita akan benar-benar diuji menghadapi anak-anak cacat dan kurang
mental di SLB. Sebab, ada anak yang tidak mudengan (sulit memahami sesuatu),
suka pilih-pilih guru waktu belajar, ada pula yang masuknya sesuka hati,’’ kata
Siti Nurjanah.
Karena itu, kesabaran menjadi persoalan yang harus ditanamkan dalam sanubari
para guru. ’’Kami harus sabar, tabah, dan tawakkal,’’ tambah Hj Marjatun.
Selain kesabaran, ketelatenan para guru dalam membimbing anak didik adalah hal
yang tidak bisa diabaikan. Kalau ada anak yang mempunyai bakat, para guru harus
mendampingi hingga ada hasilnya,’’ tegas Siti Nurjanah.
Ya, melihat kegigihan dan perjuangan para ’’Srikandi Desa’’ di SMP LB ini, tak
berlebihan kiranya sebuah apresiasi diberikan kepada mereka. Apalagi tak banyak
orang yang berani menentukan pilihan menjadi guru bagi anak-anak cacat.
Kesabaran, ketabahan, dan ketelatenan mereka adalah pelajaran berharga bagi
kita. Pelajaran untuk memahami, bahwa anak-anak yang terlahir cacat pun tetap
punya hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak bagi masa depannya. (37)
(Suara merdeka, 9 April 2008)
– Rosidi, aktif di Lembaga Studi Sosial Budaya (LS2B) Sumur Tolak
Kudus
Sekolah Luar Biasa (SLB) didirikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus (difabel). SLB ini ada karena sebuah keharusan dan bentuk tanggung jawab kami untuk turut mencerdakskan anak bangsa. Mengetahui bahwa pendidikan itu adalah hak dasar manusia yang harus terpenuhi, maka dari itu didirikanlah SLB "SUNAN MURIA'' Dawe Kudus.