Meka Firanita (17), mendadak diam. Meka, demikian sapaan
akrabnya selalu terlihat riang bersama teman-temannya. Bila ada guru
kesukaannya lewat, Meka akan segera menyapanya. Sapaaanya selalu lebih
dari sekali, tak jarang terkadang juga berteriak. Bila sapaannya tidak
dibalas, Meka akan marah. Namun kali ini Meka tiba-tiba tidak bicara
apapun, bahkan ketika guru kesukaannya lewat dan menyapa Meka beberapa
kali, meka tetap diam bahkan acuh di tempat duduknya.
“Jika Meka diam seperti itu, pasti kalau tidak sedang buang air kecil
bahkan kemungkinan Meka sedang buang hajat di tempat, kemungkinan
terakhir yang akan menyusahkan saya nanti, namun saya harus ikhlas
nantinya ketika membersihkannya”. Ucap Bu Erna, Wali kelas Meka dangan
nada datar.
Pada mulanya menjadi
guru bagi anak-anak cacat di SLB tentu bukan pilihan utama Bu Erna dan
bagi saya pribadi. Jika diberikan pilihan, tentu saya akan memilih
mengajar di sekolah-sekolah umum dimana murid-muridnya memiliki mental
dan fisik secara normal. Sehingga mengajar di sekolah umum tidak perlu
kesabaran ekstra agar bisa mendidik murid-muridnya dengan baik dan
hasilnya juga tidak mengecewakan.
Hal seperti itu
tentu bukan sebuah alasan saya untuk menolak mengajar di SLB. Mengajar
di SLB tentu sebuah pengalaman menarik dan menyenangkan. Setiap hari
saya selalu melihat anak-anak yang berbeda dengan anak-anak pada
umumnya. Ada yang cacat fisik seperti tidak bisa bejalan, ada yang cacat
pendengaran, ada yang tidak bisa melihat dan ada juga yang cacat
mental. Melihat anak-anak seperti itu, membuat saya selalu bersyukur
karena diberikan kesehatan fisik dan mental.
Tentu jangan disamakan cara mengajar anak-anak cacat di SLB dengan
mengajar anak-anak di sekolah umum. Jika mengajar di sekolah umum,
seorang guru tinggal masuk kelas, guru menerangkan, murid akan menyimak
dan jika ada murid yang ramai guru tinggal mengingatkan, maka murid itu
akan diam. Selesai.
Mengajar di SLB harus memiliki
kesabaran ekstra tersendiri. Terkadang ada juga murid saya yang
tiba-tiba emosi serta membanting setiap barang di sekitarnya. Ada juga
murid-murid saya yang tiba-tiba pipis di kelas atau bahkan buang air
besar di kelas. Nah, tugas gurunya membantu dan membersihkan apapun
termasuk ketika ada siswanya buang hajat di dalam kelas.
SLB tempat saya mengajar dibagi ke dalam beberapa kelas sesuai dengan
ketunaan dan tingkatan kelas. Seperti Tunanetra (A), Tunarungu
wicara(B), Tunagrahita (C), Tunadaksa (D) dan Tunalaras (E).. Tunannetra
adalah kelas dimana anak-anaknya memiliki tingkat penglihatan yang
rendah, Tunarungu wicara adalah anak-anak yang memiliki kelemahan dalam
pendengaran dan bicara. Tunagrahita adalah anak-anak yang memiliki
kelemahan dalam tingkat berpikirnya. Dan tunadaksa adalah anak-anak yang
salah satu anggota tubuhnya tidak berfungsi secara maksimal.
Tentu saja mengajar di kelas-kelas tersebut memiliki tingkat kesusahan
masing-masing. Namun yang membutuhkan energi ekstra adalah ketika
mengajar anak-anak C. Erna Fitrianni, salah satu teman saya mengajar,
harus selalu membersihkan kelasnya ketika ada muridnya yang tiba-tiba
buang hajat di dalam kelas. Bu Erna, sapaan akrabnya, harus betah
menahan bau dan ikut membersikan bekas – bekas kotoran yang menempel di
baju muridnya. Berbeda lagi dengan teman saya yang lain, Ida yuliati.
Bu Ida, demikian saya memanggil, pernah pingsan beberapa saat karena
dipukul muridnya yang tiba-tiba emosi.
Namun
kejadian-kejadian seperti itu malah membikin betah mereka mengajar di
SLB. Karena selalu saja ada hal menyenangkan yang dilakukan anak-anak
SLB. Anak-anak itu akan berontak jika gurunya tiba-tiba diganti. Hal
sekecil itulah yang membuat kita selalu seperti diperhatikan. Tak
jarang terkadang ada juga guru yang diberikan jajan oleh muridnya
keetika istirahat.
Tujuan pembelajaran di SLB
tentu sangat berbeda dengan sekolah umum. Jika sekolah umum selalu saja
mengharapkan para muridnya lululs ujian nasional dengan hasil
memuaskan, maka di SLB tentu bukan seperti itu. Dengan kondisi anak SLB
yang serba kekurangan, sebagai guru SLB adalah bertugas mempersiapkan
siswa-siswanya siap ketika berhadapan dengan lingkungan masyarakat.
Tidak lagi butuh pendampingan orangtuanya.
Jika para murid di SLB sudah bisa melakukan aktifitas sehari-hari ,
seperti berpakaian sendiri, mandi sendiri, pergi ke toilet sendiri tanpa
bantuan orang lain, maka kita akan mengalami perasaan senang
tersendiri. Karena perubahan sekecil apapun bagi murid dianggap
perubahan luar biasa bagi orangtuanya dan tentu kebanggaan tersendiri
bagi seorang guru SLB.
Priyo Wiharto, Pengajar di SLB Sunan Muria Kudus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar